Jumat, 26 Februari 2016

Teater Indonesia: Sebuah Permulaan



Kemajemukan suku yang ada dalam  Indonesia –dahulu dikenal sebagai Nusantara- memang tidak dapat dipungkiri lagi. Ada kurang lebih 300 suku yang masing-masing memiliki bahasa dan budaya yang tentu tidak sama. Banyaknya suku yang saat itu masih saling terpisah dan bahkan cenderung saling bertikai antarsuku membuat kolonialisme mudah berkuasa. Satu per satu kerajaan yang berkuasa jatuh ke tangan Belanda yang akhirnya seluruh wilayah Nusantara berhasil dikuasai. Mulailah penderitaan rakyat pribumi ata berkuasanya kolonialisme di Nusantara.
Belanda sadar betul akan kekayaan yang dimiliki tanah Nusantara. Lebih dari tiga abad lamanya Belanda mengeksploitasi sumber daya alam Nusantara. Hal ini  menyebabkan rakyak pribumi menderita secara fisik maupun mental. Hingga pada awal aba ke-20 Dr. Wahidin Sudirohusodo melembagakan Budi Utomo sebagai organisasi yang menggalang dana untuk pendidikan rakyat pribumi. Organisasi ini tidak hanya penting dari sisi pendidikan saja, tetapi mengawali kesadaran akan rasa kebangsaan. Hal ini menjadi langkah strategis gerakan nasionalis Indonesia. Tidak hanya Budi Utomo, pun juga mengispirasi lahirnya berbagai organisasi serupa seperti Taman Siswa di Jawa Tengan, Pasundan di Jawa Barat, dll. Sarekat Dagan Islam yang bermula pada tahun 1911 yang merupakan asosiasi dagang juga ikut dalam arus kesadaran nasionalis ini yang kemudian merubah namanya menjadi Sarekat Islam.
Tahun 1926 adalah titik prnting yang mengawali lahir dan berkembangnya teater Indonesia. Rustam Effendi, intelektual Indonesia yang bekerja sebagai guru di Padang dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia menulis sebuah drama berjudul Bebasari (bebas artinya benar-benar bebas atau independen). Pada tahun ini kesadaran nasionalis sudah disadari oleh Rustam Effendi dan penyair lainnya. Meskipun begitu, lompatan yang menjadi penting dalam pengembangan nasionalisme Indonesia terjadi pada tahun 1928, yaitu dengan adanya Sumpah Pemuda yang merupakan hasil dari Kongres Pemuda Nasional.
Hingga kemerdekaan Indonesia diraih pada tahun 1945 yang juga sekaligus mengukuhkan berdirinya negara Indonesia. Bahasa Indonesia yang telah dicetuskan melalui Sumpah Pemuda inilah yang menjadi media pemersatu berbagai suku yang ada di Indonesia. Melalui teater yang dianggap merupakan media yang baik dalam penyampaian pesan ke masyrakat mulai berkembang dengan pesat. Selain Rustam Effendi, selang beberapa tahun kemudian setelah tercetusnya Sumpah Pemuda (1928), dramawan lain turut melahirkan karya dalam semangat yang sama. Sanusi Pane menulis Kerta Jaya (1932) dan Sandhayakalaning Majapahit (1933); Muhammad Yamis menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Drama yang dimainkan berisi akan semangat kebangsaan dan nasionalis sebagai bentuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kelahiran Teater Nasional bukanlah suatu hal yang sederhana. Wilayah Indonesia yang begitu luas dan memiliki banyak suku yang akhirnya melahirkan etis teater masing-masing. Kesulitas dalam hal akses menjadikkan terhambatnya perkemabangan Teater Nasional. Makyong dari Sumatera, Lenong, Topeng Banjet, Longser, Ketoprak, Ludruk, Wayang Wong dari Jawa, Aria dan Kecak dari Bali, Mamanda dari Sulawesi merupakan sebagian kecil dari kayanya etnis teater Indonesia. Hal ini merupakan persoalan Teater Nasional yang walaupun demikian tetap terus lahir dan tumbuh. Ketika sejumlah anggota kelompok dari etnis teater yang berbeda mulai menyadari rasa nasionalisme, mereka merasa perlu untuk berkomunikasi dengan visi yang sama. Sarana yang dianggap paling efektif adalah melalui surat kabar dan majalah serta menggunakan bahasa Melayu yang pada saat itu merupakan lingua franca. Berita dan esai ditulis untuk menyebarluaskan nasionalisme sebagai produk pertama dalam upaya komunikasi nasional. Pada titik ini, sastra menjadi langkah berikutnya. Puisi dan cerita memainkan peranan penting mengungkaplan kesadaran kebangsaan. Melimpahnya energi kreatif atas kebutuhan yang dihasilkan dalam sastra kemudian terus melahirkan sebuah teater baru dengan penonton yang baru, meski hanya sedikit jumlahnya.[]
Sumber: Esai Saini K.M. dengan judul "INDONESIAN THEATRE - Historical Background and Current Trends"  http://www.mindspring.com/~accra/indoXchange/rendraRef.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sempatkan untuk berkomentar dalam bentuk kritik maupun saran. Jadilah pengunjung dan komentator yang baik.